Sungguh menyedihkan memang nasib aparat – aparat teritorial baik yang sebagai mas’ul musa, ibrahin dan sholeh. Bagaimana tidak, jika ternyata kesedihan dan kepedihannya juga harus dirasakan juga oleh anak – anaknya yang hendak mau melanjutkan sekolah menjadi santri di Al Zaytun. Perjuanganan dan pengorbanan orangtuanya yang sebagai aparat teritorial tetap tidak membuat hati, perasaan AS Panji Gumilang sedikitpun bergeming untuk memperhatikan mereka ketika mencoba untuk menjadi santri. Padahal AS Panji Gumilang, melalui aparat – aparat dibawahnya bahwa orang – orang dalamlah yang akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk menjadi santri di Ma’had Al-Zaytun, disamping karena latar belakang sebagai ujung tombak pencari dana dan jama’ah, juga memang karena sebelumnya bahwa anak – anak dari aparat – aparat territorial tersebut telah mengikuti iuran program TPA [ tabungan pendidikan anak ] tiap bulan, yang memang telah diprogramkan dan digariskan dari atas. Dan statetement – statement dari AS Panji Gumilang dan pimpinan – pimpinan lainnya, yang menyatakan bahwa anak – anak orang dalam itu gratis [ tanpa beaya ] bila mengikuti pendidikan di Ma’had Al-Zaytun. Tapi itu cerita dulu, sebelum Al Zaytun begitu pesat perkembangannya. Ini kentara benar ketika Al-Zaytun sukses pada penerimaan perdana calon – calon santri, namun setelah yang kedua, ketiga dan seterusnya dan seterusnya pada setiap penerimaan santri, jauh panggang dari api.
Memang karena orangtuanya yang telah habis – habisan demi untuk NII KW IX Abu Toto, dan persepsi bahwa orangtuanya sebagai aparat teritorial, maka otomatis pula anaknya yang akan jadi calon santri tak perlu repot – repot lagi akan beayanya, karena informasi demikian yang diperoleh dari atasannya begitu, sehingga berangkat ke Al-Zaytun tanpa uang yang jauh dari memadai, katakanlah hanya cukup untuk jajan sehari , ya bagaimana orangtuanya punya duit darimana untuk membayar secara cash biaya pendaftaran dan beaya pendidikan yang berpuluh juta lebih itu. Dan ternyata dugaannya benar ketika pas pelaksanaan pendaftaran calon – calon santri, dan si calon santri itu bingung saat ditanyakan mana uangnya untuk disetor ke Banc CIC. Akhirnya si calon santri anak territorial itu sedih, menangis dan bingung harus berbuat bagaimana. Pada saat yang demikian ada seorang muadhof yang melihat anak tersebut, lalu didekatinya kemudian ditanyakan,’’ ada apa nak kok menangis disIni,’’ habis bagaimana bi [ singkatan panggilan Abi yang artinya Bapak/ Pak ] , saya kesini tidak diberi uang yang cukup, kecuali uang sedikit untuk beli aqua dan roti beberapa hari saja dan saya tidak ada uang untuk beaya yang harus disetorkan, itupun saya sudah tidak makan dari kemarin, kecuali aqua semata,’’ begitu cerita anak tersebut memelas. Mendengar cerita tersebut si muadhof lantas membawa anak tersebut untuk diajak memakan jatah makannya.
Sampai disini terus ada pertanyaan lalu bagaimana anak – anaknya muadhof yang disini yang mau menjadi calon santri Al Zaytun, tentu pasti diterima sekalipun dengan potongan – potongan gajinya tiap bulan, jika tidak diterima anak – anaknya muadhof maka akibatnya akan fatal bagi AS Panji Gumilang dan Al-Zaytun sendiri karena nanti dampaknya muadhof bisa mogok kerja dan demo sehingga mengganggu kelancaran pembangunan sarana dan prasarana di Ma’had Al Zaytun.
BY www.nii-crisis-center.com